Himbauan! Evakuasi Tak Perlu Menunggu Bunyi Sirine

Masyarakat dihimbau untuk segera mengevakuasi diri ke tempat tinggi secara tertib dan berhati-hati manakala terjadi gempa bumi berskala besar. Himbauan ini disampaikan mengingat sistem peringatan dini, Early Warning System (EWS) ngadat oleh berbagai faktor, seperti gangguan kelistrikan maupun kerusakan peralatan karena efek goncangan.

Pemerintah disatu sisi tengah bekerja keras meminimalisir risiko, melalui berbagai program mitigasi, termasuk memikirkan pembangunan Shelter sebagai lokasi evakuasi bagi masyarakat yang kesulitan mencari dataran tinggi.

Meski demikian masyarakat harus tetap memprioritaskan menuju ke lokasi yang lebih aman yakni dataran tinggi, seperti yang disampaikan Diannita Agustinawati Kasi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Pacitan.

Mengingat anggarannya yang besar, pemerintah yakni BPBD Pacitan tentu mengupayakan melalui usulan dalam program jangka panjang. Sedang fokus lokasi dipastikan berada di wilayah-wilayah padat seperti area kota dengan zona merah. “Shelter juga berfungsi sebagai pusat kegiatan lain,” kata Dian (07/10).

Lalu apa kabar hasil latihan Ocean Wave Exercise 2020 (IOwave20) yang dilaksanakan kemarin (06/10) bersama Inter-governmental Coordination Group/ Indian Ocean Tsunami Warning Mitigation System (ICG/IOTWMS)-UNESCO. Event 2 tahunan ketiga tersebut kemarin menguji sistem peringatan dini terhadap ancaman tsunami.

Di dalamnya memastikan komunikasi antar pihak (stakeholder) yang juga berisiko terjadi gangguan saat terjadi bencana. Ini persis seperti kejadian banjir dan tanah longsor 3 tahun silam.

Peserta latihan meliputi negara-negara yang bersinggungan langsung dengan Samudera Hindia di dalam situasi ancaman bencana tsunami. Mengharap negara tersebut kemudian tidak panik bahkan blunder jika benar datang tsunami, sehingga jumlah korban dapat diminimalisir.

BPBD juga tengah berfokus terhadap komunikasi dengan instansi terkait, seperti TNI, Polri, Satpol PP maupun relawan. Sehingga semua arahan dapat tersampaikan dengan baik sebelum, saat terjadi maupun pasca bencana.

Demikian untuk jalur program langsung kepada masyarakat sebagai langkah pemahaman, meski Kepala BPBD Pacitan Didik Alih Wibowo belum bisa memastikan besaran anggaran, namun ia memastikan program berbasis penanganan oleh petugas akan dimaksimalkan dalam waktu dekat. “Petugas harus ikhlas, cepat saat mendapat perintah dalam kondisi apapun,” ujarnya. (bd/anj/zak/ryt/dzk/rch/tk/DiskominfoPacitan).

Catatan Belanda; Patjitan 2 Kali Diterjang Tsunami

Bukan untuk memupuk ketakutan sehingga timbul phobia, isu gempa dan gelombang tsunami yang dimungkinkan terjadi karena adanya pertemuan dua lempeng besar Indo-Australia dan Eurasia di pesisir selatan pulau Jawa harus disikapi positif. Masyarakat harus mengenal situasi ini, sekaligus mengembalikan mindset bahwa realitas masyarakat Kabupaten Pacitan memang berdiri di atas tanah dengan segudang potensi bencana.Oleh sebab itu Tim Liputan Diskominfo Pacitan melalui berbagai laman resminya menyambut baik timbal balik pembaca yang meminta penajaman artikel yang berjudul, “Siapkah Jika Megathrust di Selatan Jawa Pecah Sewaktu-waktu” terbit pada (29/09). Sehingga kian kaya wawasan akan kebencanaan.Merujuk sejarah, Belanda diam-diam mencatat fakta bahwa Patjitan nama ejaan Pacitan saat itu sempat dihantam 2 kali gelombang besar. Kejadian pertama terjadi pada awal tahun 1840, gelombang pasang itu juga didahului dengan gempa bumi. Selanjutnya gempa yang disusul gelombang besar terjadi saat jelang magrib, pada 20 Oktober tahun 1859.Melihat fakta ini sebanyak 27 desa menjadi perhatian pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pacitan, desa-desa tersebut berada di dataran rendah berhadapan dengan samudera Hindia. “Yang berada di dataran tinggi tentu menjadi pengecualian,” ungkap Kasi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Pacitan Diannita Agustinawati (02/10).Dari ujung barat Kecamatan Donorojo desa-desa tersebut meliputi Desa Sendang, Kalak, Widoro. Kecamatan Pringkuku, Dadapan, Candi, Poko, Jelubang, Dersono dan Watukarung. Kecamatan Pacitan, Desa Sirnoboyo, Kembang, Sidoharjo, Ploso.Beralih ke timur kota mulai Kecamatan Kebonagung, Desa Worawari, Sidomulyo, Klesem, Katipugal, Plumbungan, Kalipelus, Karangnongko. Kecamatan Tulakan, Desa Jetak. Kecamatan Ngadirojo, Desa Sidomulyo, Hadiwarno. Dan Kecamatan Sudimoro, Semberejo, Pagerlor, Pagerkidul dan Sukorejo.Menurut perhitungan kasar, warga pesisir yang harus melakukan evakuasi mandiri mencapai 20 persen dari total populasi penduduk Pacitan, atau kira-kira 100 ribu orang. Sementara sebagian diantaranya adalah kelompok rentan yang perlu dibantu saat proses evakuasi saat kejadian. “Masyarakat harus peka melihat kanan kiri, disitu ada lansia, balita, disabilitas menjadi prioritas untuk ditolong,” kata Dian.Selebihnya jumlah kelompok rentan tersebut belum ditemukan jumlah pastinya, BPBD dalam waktu dekat akan berkomunikasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Pacitan untuk memperoleh jumlah bulatnya dan memang harus terus di update karena faktor fluktuasi data.Prakiraan Institut Teknologi bandung (ITB) memperkirakan gempa dapat mencapai 9 skala richter, kemudian disusul gelombang tsunami yang mencapai 20 meter. Ini merupakan skenario terburuk, skenario ini dapat terjadi manakala pecahan tumbukan kedua lempeng mengakibatkan pecahan dari ujung barat pulau Jawa hingga Banyuwangi. “Merujuk para ahli inikan siklus,” lanjut Dian.Lalu seperti apa situasi tersebut jika dibanding dengan banjir siklon tropis 2017 silam, Dian memperkirakan kerusakan yang ditimbulkan tidak serata bencana 3 tahun lalu. Meski sekali lagi gempa dipastikan bisa dirasakan seluruh wilayah, hanya saja ketinggian tsunami cukup mengancam wilayah pesisir dataran rendah.Profesor Ron Harris yang sempat datang langsung ke Pacitan dalam penelitiannya tahun 2016 lalu, memperkirakan gelombang tsunami yang masuk ke daratan sejauh 2 sampai dengan 3 kilometer dari bibir pantai. Jika merujuk pada prakiraan tersebut pusat kota dan pemerintahan masih berstatus aman, lantaran jaraknya 5 kilometer dari pantai.Ini juga didukung Sabuk hijau atau green belt sebagai penahan kecepatan gelombang di sepanjang teluk Pacitan, saat ini kondisi kelebatan cukup baik. Bersyukur di Indonesia pemilik sabuk hijau terbaik adalah teluk Pacitan dan Banyuwangi.Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai menjadi perhatian selanjutnya, sebab aliran sungai ibarat jalan tol bagi gelombang tsunami, beberapa wilayah yang berada di lokasi ini harus benar-benar memahami mitigasi secara mandiri meski jaraknya diatas 3 kilometer.Berbagai kesiapan terus dilakukan pemerintah, mengingat masyarakat saja tidak cukup untuk menghadapi skenario ini, dalam waktu dekat berbagai simulasi yang berhubungan dengan gempa dan tsunami terus dilakukan, walaupun tak ada yang menghendaki tsunami terjadi. “Masyarakat jangan panik, tetap tenang dan waspada,” harap Bupati Pacitan Indartato (30/09). (bd/anj/alazhiim/ryt/dzk/rch/tk/DiskominfoPacitan).

Siapkah Jika Megathrust di Selatan Jawa Pecah Sewaktu-waktu

Pemerintah Kabupaten Pacitan tidak menafikkan kemungkinan ancaman tsunami setinggi 20 meter di sepanjang pesisir di pulau Jawa. Hasil analisis ilmiah Institut Teknologi Bandung (ITB) yang kini viral baru-baru ini harus disikapi serius, walau siapa saja tidak menghendaki bencana ini terjadi.

Setidaknya 27 desa di 7 kecamatan masuk diantara 80 Kilometer garis pantai selatan Kabupaten Pacitan, di  zona merah itu hiduplah puluhan ribu masyarakat. Sedang potensi tidak langsung berada di wilayah kecamatan kota, khususnya sekitar bantaran sungai Grindulu.

Secara gamblang hasil riset yang dirilis Sri Widiyantoro, Guru Besar ITB tersebut berdasar terhadap kemungkinan Segmen Megathrust di selatan pulau Jawa yang berpotensi pecah. Jika terjadi secara bersamaan maka gempa besar yang disusul Tsunami setinggi 14 hingga 20 meter berpotensi terjadi.

Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika (BMKG) juga tidak memungkiri hasil penelitian ITB itu, Dwikorita Karnawati Kepala instansi tersebut kepada CNN malah mengaku penelitian pada tahun 2014 oleh BPPT dan tahun 2016 oleh Ron Harris peneliti dari Amerika menyebutkan hasil yang tak jauh berbeda. “Metode kajian berbeda, namun hasilnya ternyata hampir sama,” katanya.

Pemerintah pusat pun telah menyiapkan berbagai mekanisme dari ancaman tersebut sejak 12 tahun silam atau tahun 2008, komitmen tersebut timbul dari pengalaman tragedi tsunami Aceh. Masalahnya ancaman ini tidak bisa diprediksi, meski melalui peralatan tercanggih sekalipun. Itu berarti pemerintah pilih fokus pada pemaksimalan mitigasi bencana terhadap masyarakat.

Lalu bagaimana kesiapan pemerintah dan masyarakat Kabupaten Pacitan terhadap ancaman ini, Diannita Agustinawati Kasi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Pacitan mengatakan pemahaman terhadap masyarakat dinilai memenuhi standar, setidaknya mereka mengerti apa yang harus dilakukan saat terjadi gempa dan kemana jika datang gelombang besar dari laut.

Namun itu semua belumlah cukup. Berbagai program seperti Desa Tangguh Bencana telah dibangun, memaksimalkan ketangguhan masyarakat melalui kemandirian diri dan desa. Belum lama juga dilaksanakan Ekspedisi Desa Tangguh Bencana, program pusat bersifat marathon di pesisir selatan Jawa, dari Banyuwangi hingga Jawa barat. “Sosialisasi akan terus kami lakukan,” ujar Dia (29/09).

Sementara Bupati Pacitan Indartato justru mengaku belum memperoleh keterangan resmi dari Pusat, hanya saja Pemda mendapat undangan dari Pemprov Jatim untuk mengikuti arahan dari Gubernur melalui Aplikasi Zoom.

Yang pasti Bupati tetap berharap masyarakat tenang meski harus tetap waspada, pemerintah melalui instansi terkait yakni BPBD akan bersiaga sembari menggelar berbagai pelatihan bencana Tsunami. “Kami juga harus memberikan informasi kepada masyarakat sedini mungkin,” ucapnya. (budi/anj/alazim/riy/dzk/rch/tk/DiskominfoPacitan).