Berita terbaru

Marak Konten Film Tak Layak Tonton, LSF Ajak Masyarakat Budayakan Sensor Mandiri

SENSOR MANDIRI: Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) RI mengajak masyarakat membudayakan sensor mandiri. Ini perlu dilakukan menyikapi maraknya film tak layak tonton bagi anak. (Foto: PS/Diskominfo)

Pacitan – Era digital menghilangkan sekat dan jarak. Netizen pun cukup mudah mengakses semua jenis konten via dunia maya. Tak terkecuali muatan negatif dalam film yang tak layak tonton. Padahal dampaknya sangat serius terutama bagi perkembangan kejiwaan anak-anak.

“Masalahnya tidak semua (konten) itu melalui proses sensor dan tidak semuanya juga layak ditonton. Terutama untuk klasifikasi usia-usia tertentu,” ucap Ahmad Yani Basuki, Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) RI saat kunjungan kerja di Pacitan, Selasa (30/7/2019).

Fakta tersebut, menurut Yani, menjadi perhatian serius lembaga yang dipimpinnya. Apalagi salah satu tugasnya adalah melindungi masyarakat dari dampak negatif film. Karenanya, lanjut mantan staf khusus di era Presiden SBY tersebut, LSF tak cukup bekerja pasif menyensor film sebelum tayang.

Di sisi lain, Yani mengakui adanya konten audio visual yang beredar tanpa melalui proses sensor. Hal ini terjadi karena pembuat film merasa tidak terikat. Ini terutama film-film yang diproduksi di luar negeri dan ditayangkan melalui saluran televisi berbayar.


“LSF merasa terpanggil turun ke tengah masyarakat yaitu mengajak masyarakat untuk pandai memilah dan memilih tontonan dalam hal ini adalah film yang tepat,” tambah Yani.


Adapun kata ‘tepat’, menurutnya, harus memenuhi beberapa kaidah. Antara lain film dimaksud harus lulus sensor. Selanjutnya sebelum diputar, film harus dilihat berdasarkan ketegori usia. Tentu saja tanggung jawab tersebut dominan pada orang tua. Termasuk di antaranya membudayakan anak-anak jeli memilih film sesuai kategori usia mereka.


“Dan kami turun ke masyarakat untuk mengajak membangun budaya sensor mandiri,” tandasnya.


Saat berada di Kota 1001 Gua, LSF menggelar dialog dengan puluhan orang dari berbagai elemen. Mulai dari pendidik, tokoh agama, hingga tokoh masyarakat. Dialog menghadirkan nara sumber Samsul Lusa dan Monang Sinambela, keduanya anggota LSF. Hadir pula Wakil Bupati, Yudi Sumbogo beserta perwakilan TNI dan Polri. Dialog pun berlangsung seru dengan munculnya beragam pertanyaan dan tanggapan kritis peserta.


“Saya kira memang sudah saatnya negara kita bangkit dengan menciptakan film-film yang berkualitas dan sarat nilai positif. Di samping tentu saja semangat literasi terhadap perfilman harus bersama-sama kita tebarkan,” ujar Bambang, pengajar salah satu SMP di Kecamatan Tegalombo yang hadir sebagai peserta. (PS/PS/Diskominfo)

Tingkatkan Kerjasama Demi Tegaknya Hukum

Peran serta masyarakat wajib hukumnya supaya terjadinya keamanan dan ketertiban disemua hal demi tegaknya produk hukum. Termasuk di lingkup pemangku kebijakan, yakni Pemda Kabupaten Pacitan. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi, termasuk korupsi, baik disengaja maupun tidak. Yang dapat merugikan rakyat.

Beruntung, Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan dinilai terbuka oleh Kejari Pacitan, saat Coffe Morning Bersama Awak Media, kemarin 29/07 di Ruang Rapat Kejari Pacitan. Adji Ariono Kepala Kejari mengatakan itu terjadi lantaran keterbukaan dari kedua belah pihak, baik kejari yang total dalam berbagai program dan Pemda yang selalu membuka diri.

“Alhamdulillah sudah sangat terbuka, hal itu kami dukung dengan berbagai sosialisasi secara masif,” ujar Adji. Seperti pengawalan pembangunan yang sering disebut program Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan (TP4). Dibentuk sesuai implementasi Perppu Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Ia terang-terangan, banyak Perangkat Daerah (PD) yang membuka diri, sehingga laju proyek dapat berjalan lancar tanpa terjadi kemungkinan kesalahan yang berpotensi pada pidana.

Dengan berbagai program pengawasan, apa yang dilakukan oleh pemerintah dapat benar-benar dinikmati seluruh masyarakat Indonesia dan masyarakat Pacitan Khususnya. Melalui berbagai kerja sama, termasuk awak media. “Karena fungsinya sebagai kontrol sosial,” tambah Dia.

Selain tugas itu, masih banyak yang dikerjakan Kejari Pacitan, salah satunya mengawasi orang asing, mengawasi berbagai aliran kepercayaan. Bahkan memberikan pemahaman kepada siswa dan siswi disekolah yang kerap diberi nama Jaksa masuk sekolah. Tugas berat tersebut tentu banyak kekurangan di sana sini, oleh sebab itu, Adji berpesan pada semua pihak, termasuk awak media untuk saling mengingatkan. “Jika ada anak buah saya yang menyeleweng laporkan kepada saya,” tegas Kajari. Satu komitmen Kejari untuk benar-benar profesional dalam mengemban amanah. (budi/riyanto/wira/DiskominfoPacitan).

Sidag Gas di Arjowinagun; Pengecer Berorientasi Merusak Mata Rantai Tata Niaga

Hingga detik ini, distribusi Gas Elpiji 3 Kilogram atau Tabung Melon tidak ada penurunan kuota, tetap pada angka 8.525 tabung per hari. Ini kecuali hari libur. Tapi, masyarakat sebagai konsumen kok tetap kesulitan mencari Gas bersubsidi itu? begitu juga dengan para pelaku industri kecil.

Sebelumnya Dinas Perindusterian dan Perdagangan (Disperindag) bersama dengan Himpunan Pengusaha Swasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana) Madiun menggelar Rapat Koordinasi di ruang rapat kantor Disperindag 18/07 lalu. Kini dilanjutkan menggelar Sidag di Pasar Arjowinangun Pacitan pagi tadi 30/07.

Ternyata benar, ramai orang-orang berjubel mengantre disalah satu toko. Siti Naimah Kabid Perlindungan Konsumen Disperindag yang ikut dalam kegiatan itu menduga, orang yang mengantre tersebut bukan konsumen, namun pengecer. “Pangkalan harus tahu dan selektif, siapa konsumen siapa pengecer,” kata Dia.

Agus Wiyono sebagai Ketua Hiswana Madiun berpandangan sama, gejolak Gas Elpiji 3 Kg itu ditengara karena rantai distribusi gas yang sesuai regulasi hanya sampai pada pangkalan, pengecer tidak tercantum pada struktur sehingga mempunyai banyak kesempatan memainkan peran tata niaga. “ Pengecer hanya berorientasi pada Profit Oriented saja,” tegas Agus.

Lain cerita dengan Pupuk bersubsidi, Gas 3 Kg ini tidak ada hukum berat yang dapat mengganjal jika ada oknum yang bermain, umumnya jika terbukti melakukan tindakan yang melanggar hukum hanya mendapat ganjaran sanksi administrasi.

Banyak cara untuk meredam kondisi ini, namun Agus tegas tidak akan bersinggungan dengan pengecer yang notabene sukar dikendalikan, ia hanya akan menindak hingga pangkalan yang mestinya mangkal, melayani sesuai dengan aturan yang ada. “Regulasi harus diperbaiki, karena banyak celah di dalamnya. Atau Pemda bisa membuat peraturan sendiri,” tambah Dia.

Pada saat itu ia juga menghimbau pada agen supaya menertibkan semua pangkalan, karena agen mempunyai tugas dan fungsi menyalurkan gas hingga titik pangkalan. Mengingat juga kesalahan pangkalan adalah kesalahan agen.

Sehingga agen harus lebih ketat terhadap pangkalan dalam mendistribusikan gas tersebut. Karena saat ini yang pusing mencari barang bukan konsumen sebagai pengguna langsung, tapi pengecer. “Termasuk konsumen, Elpiji 3 Kilogram peruntukannya jelas, hanya bagi masyarakat miskin dan usaha mikro yang mempunyai kapasitas, dan yang bukan itu kami mengharap untuk beralih ke Gas non subsidi,” pungkas Agus. 

Sementara ini tiga stakeholder yakni Pemda Pacitan, Pertamina dan Hiswana akan menambah kuota tabung melon, tambahan fakultatif dilaksanakan pada periode Juli 2019 sebanyak 5.040 tabung, akumulasi penyaluran menjadi 123 persen. Sedang penyaluran di periode pertama sebanyak 3.360 tabung atau 107 persen. (budi/wawan/riyanto/wira/DiskoninfoPacitan).

Musrenbang Inklusi Alternatif Serap Aspirasi Kelompok Besar

Bulan Januari setiap tahunya para pemangku kebijakan menggelar Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang). Jika di Pacitan acara ini kerap kali dilaksanakan di Pendapa Kabupaten. Semua orang dilibatkan demi memperoleh suara secara menyeluruh.

Berjalannya waktu ,ternyata tradisi musrenbang belum sepenuhnya menyerap semua aspirasi, terutama musrenbang yang digelar di desa-desa. acap kali aspirasi kurang mengedepankan suara perempuan, anak, penyandang distabilitas maupun masyarakat miskin, sehingga mereka sering tidak mendapatkan porsi pembangunan. Itu terjadi karena musrenbang regular yang mengacu pada UU Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional hanya mengatur sampai tingkat kecamatan saja.

Pemerintah Pacitan merespons yang ditandai dengan terbitnya Peraturan Bupati Pacitan Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Pedoman Musrenbang Inklusif. Lalu, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapedda) Pacitan bergandengan tangan dengan Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan Untuk Kesejahteraan (Kompak) melakukan Pelatihan Teknik Fasilitasi Bagi Para Fasilitator atau Training Of Trainer (TOT) pada kegiatan musrenbang inklusif.

Upaya untuk mewadahi penyandang disabilitas ini di kesempatan yang akan datang harus terlaksana di 171 desa yang tersebar di 12 kecamatan. “Kami bersama-sama berupaya menginisiasi musrenbang inklusif ditingkat desa supaya terlaksana secara masif. Juga untuk mengakomodasi perempuan, anak-anak dan mereka yang termarginalkan,” Kata Kasubid Pembangunan Manusia Sektor 1 Bapedda Siswoyo Kepada Diskominfo Pacitan.

Ini menarik sekaligus luar biasa, mengingat mereka sebenarnya adalah kelompok besar, kemudian bisa menyuarakan langsung unek-uneknya mulai kebutuhan, akses, hingga manfaatnya, dan kemudian pemerintah dapat mengontrol perencanaan itu.

Tapi ini bukan perkara mudah, jadi peserta TOT harus mengikuti kegiatan hingga empat hari lamanya tanpa absen, Sekda Pacitan Suko Wiyono saat membuka acara 23/07 meminta kepada seluruh peserta supaya fokus mengikuti pelatihan. Karena kasus yang timbul di setiap wilayah selalu berbeda-beda. “Semoga apa yang kita lakukan ini sudah ada manfaatnya di musrenbang yang akan datang,” harap Sekda di Gedung Karya Darma tempat pelatihan.

Iqbal mengikuti pelatihan dengan penuh semangat, meski harus dibantu dengan Kruk. Melihat itu Irwandi Koordinator Kompak Pacitan ini bermimpi ditahun 2020 sudah ada usulan dari kelompok besar tersebut. “Usulan mereka harus bisa masuk di APBDes,” Mimpi Irwandi. Meskipun di Pacitan sudah melakukannya, namun ia harus memastikan terselenggara dengan segenap instrumennya.

Didik Purwondanu pun harus turun gunung, ia yang menjabat sebagai Responsive Governance Coordinator Kompak Provinsi Jawa Timur itu senang dengan inovasi tersebut, kegiatan pertama di Indonesia ini dirasa sesuai dilakukan di bulan Juli, demi mengejar siklusnya untuk APBDes tahun 2020 dan 2021.

Hingga hari terakhir peserta cukup dinamis, bersemangat mengikuti proses demi proses. Hari pertama peserta dihadapkan pengetahuan dasar, dilanjutkan dengan simulasi dan berlanjut hingga studi kasus.

Dari 553.388 jiwa masyarakat Pacitan, perempuan berada pada angka 51,17 persen, sedang anak-anak 28,17 persen dan 14,19 persen antaranya adalah masyarakat miskin. Bisa dibayangkan bagaimana suarai mereka terakomodasi secara sempurna. Hasilnya pembangunan di Pacitan dapat merata ke seluruh segmentasi. Karena tiga kelompok besar tersebut mempunyai kesempatan dan hak sama pada proses pembangunan. (budi/riyanto/wira/DiskominfoPacitan).