Siang itu masih menyisakan kabut ketika serombongan pertapa berbaju putih-putih menyusuri lereng Gunung Limo. Nampak di depan pria tua bersurban dengan tongkatnya, begitu hati-hati menyusuri punggung bukit yang licin dan berbatu.

Dari jauh suara tetabuhan mengiring langkah mereka menuju paseban tempat ritual Tetaken berlangsung. Sabtu, 13 Agustus 2022.

Tetaken sendiri berasal dari kata “Tetekian”. Bahasa Sansekerta yang berarti “teteki” atau bertapa dan mendapat imbuhan “-an” sehingga menjadi “tetekian” yang berarti Pertapaan.

Upacara adat ini dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat sekitar Gunung Limo tepatnya di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Dalam pelaksanaannya, ritual yang kental dengan suasana religius ini digelar secara sederhana setiap 15 Muharam.

Tetaken merupakan salah satu potensi budaya di Pacitan yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) atau Intangible Culture Heritage dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Sejarah ritual Tetaken ini bermula dari kisah pengembaraan Kiai Tunggul Wulung dan Mbah Brayat. Setelah bertapa di Gung Lawu, keduanya akan melakukan pengabdian dengan menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.

Namun, kedua orang ini berpisah di tengah jalan. Mbah Brayat memilih tinggal di Sidomulyo, sementara Kiai Tunggul Wulung memilih lokasi yang sepi di puncak Gunung Limo Kebonagung.

Prosesi Ritual
Proses ritual upacara adat Tetaken Gunung Lima dibagi menjadi dua, yakni proses awal dan proses pelaksanaan. Proses awal meliputi tahapan sebo, cantrik, semedi, dan thontongan. Sementara proses pelaksanaan sendiri dibagi menjadi pelaksaan awal dan pelaksanaan inti. Pelaksanaan awal meliputi hasil bumi dan peserta, sementara pelaksanaan inti meliputi mandhap, siraman, padhadaran, kirab, srah srahan, ujuban, doa, dan legen.

Upacara adat yang digelar tanggal 15 Muharram dalam penanggalan hijriah dibuka dengan membunyikan kentungan yang berada di Padepokan Tunggal Wulung serta diiringi langgam lagu Gunung Limo.

Dengan waktu yang sudah ditentukan, muncul menyambut para pertapa bersiap memasuki area upacara sakral. Selanjutnya iring-iringan tiba di tengah lokasi prosesi. Selain membawa berbagai hasil bumi dan keperluan ritual (tumpeng dan ingkung, misalnya), di baris terakhir beberapa orang tampak membawa bumbung (wadah air dari bambu) berisi legen atau nira kelapa.

Secara bergilir para pembawa legen (air nira) menuang isi kesebuah tempayan dipanduk juru lampah. Ini adalah sambutan dari masyarakat Gunung Limo yang dalam kehidupan sehari-hari bekerja sebagai pencari nira. Tradisi tetaken sendiri membawakan berkah bagi kehidupan sehari, menjadikan simbol kekuatan dan spiritual, gunung limo merupakan sumber kekuatan dan nilai spiritual.

Waktu berselang, juru kunci menuju pelataran untuk melaksanakan prosesi nyuceni murid atau membersihkan diri secara simbolik sebagai perwujudan siswa yang suci karena telah menyelesaikan ilmu hubungan manusia dengan alam di Gunung Limo.

Prosesi Nyuceni atau menyucikan murid terdiri dari tiga tahapan. Pertama, ikat kepala para murid dilepas sebagai tanda kelulusan. Kedua, satu persatu siswa diberi minum air sari aren yang biasa disebut sajeng. Terakhir, para murid menghadapi tes mental dengan penguasaan ilmu bela diri.

Setelah rangkaian prosesi menyucikan diri, juru kunci memberikan wejangan kepada para murid bahwa tantangan bagi pembawa ajaran kebaikan tidak ringan, banyak ujian dan rintangan berat yang harus dihadapi dalam realitas kehidupan.

Seluruh proses menyucikan diri para murid serta pemberian wejangan oleh juru kunci disaksikan oleh Demang dan seluruh masyarakat Desa Mantren yang hadir dalam upacara Tetaken.

Kemudian, murid yang telah diwisuda diserahkan kepada masyarakat Mantren. Menerima murid dari juru kunci Gunung Limo, Demang Mantren menerima dengan ucapan hamdalah dan bacaan Al Fatihah sebagai rasa syukur karena para murid telah melalui proses pendidikan bertapa di Gunung Limo.

Harapannya, murid dapat membaur dengan masyarakat Desa Mantren sehingga dapat mewujudkan desa yang aman, makmur, sejahtera, dan hidup berdampingan dengan alam sekitar. Kegiatan kemudian diakhiri dengan makan bersama-sama. (Pemkab Pacitan/ Foto: Disbudpar Pacitan)

 

 

WhatsApp chat