Gangguan pendengaran dapat terjadi pada beragam usia. Mulai anak-anak, remaja, hingga usia tua. Dalam beberapa kasus, kasus gangguan indera pendengaran dapat diatasi. Kuncinya adalah deteksi dini serta penanganan secara tepat.

“Yang penting sebenarnya waktu bayi. Karena kalau bayi lahir kemudian dia tidak bisa mendengar kemunginan besar dia akan menjadi bisu,” kata pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, dr Puguh Setyo Nugroho, Sp.THT-KL Sabtu (24/6/2023).

Jika hal tersebut terjadi, tentu saja kurang baik bagi masa depan penderita. Mulai dari dampak pada kehidupan, sosialisasi, maupun pendidikannya. Oleh karena itu dokter umum yang ada diharapkan berperan aktif melakukan deteksi dini di wilayah kerja masing-masing.

Bayi dengan risiko lebih tinggi gangguan pendengaran, lanjut Puguh, adalah yang lahir dengan kelainan khusus. Semisal bayi prematur, gangguan jalan lahir, maupun bayi dengan gejala penyakit kuning. Tentu saja, orang tua berperan penting memantau perkembangan anak di usia dini.

“Ketika kemudian (bayi) usia 8 bulan dia tidak respons ketika dipanggil atau dalam bahasa kita ‘dikudang’ nggak respons, ada suara keras nggak noleh, maka kita harus curiga,” ujarnya di sela Seminar dan Pelatihan ‘Penatalaksanaan Penyakit Telinga Hidung Tenggorok’ di RSUD dr Darsono, Pacitan.

Saat seorang bayi menginjak usia 2 tahun namun belum mampu bicara, imbuh Puguh, orang tua wajib memberi perhatian khusus. Rekam jejak si bayi sejak lahir pun harus dibuka. Hal itu untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kelainan pendengaran.

“Kalau gangguan pendengaran terjadi saat anak berusia di bawah 2 tahun, sebelum dia bisa bicara, maka kemungkinan besar anak ini akan menjadi bisu. Karena periode usia emas itu 8 bulan sampai 2 tahun,” katanya.

“Periode emas itu mereka belajar untuk bicara. Untuk bicara maka dia harus mendengar. Yang mereka dengar sejak lahir sampai usia 8 bulan itu ya bahasa ibunya. Sehingga syarat untuk bicara, dia harus bisa mendengar,” tambah dokter kelahiran Punung, Pacitan tersebut.

Dia pun membeberkan teknologi mutakhir yang mampu mengoreksi gangguan pendengaran berat hingga kembali berfungsi sempurna. Yaitu dengan implan koklea atau rumah siput. Informasi semacam itu, lanjut Puguh, penting diketahui masyarakat sehingga kasus dapat ditangani tanpa menunggu penderita dewasa.

Pada kesempatan sama, Plt Dinas Kesehatan Pacitan dr Daru Mustikoaji memaparkan masih minimnya jumlah tenaga medis di bidang tersebut. Sejauh ini tercatat hanya 1 dokter spesialis THT di Kota 1001 Gua. Tentu hal tersebut tak sebanding dengan jumlah penduduk yang mencapai 500 ribu orang lebih.

“(Dokter spesialis) THT, Syaraf minimal di rumah sakit ada 2. Dan untuk (poli) yang besar seperti bedah, obgyn, penyakit dalam, penyakit anak itu ada 3 idealnya,” kata dr Daru.

Tentu saja kondisi itu mengharuskan upaya lebih keras untuk menyosialisasikan tata cara mengetahui gangguan pendengaran kepada masyarakat. Di sisi lain dinkes berupaya memanfaatkan jejaring dokter umum di wilayah untuk skrining warga. Jika didapati gejala, dapat segera ditindaklanjuti pada fasilitas kesehatan lebih atas.

“(Alat uji pendengaran) Garpu Tala saja kita baru ada sekitar 30 persen dari total jumlah dokter. Ini juga masih jadi pekerjaan rumah kita bersama,” katanya terkait perlunya peningkataran sarana. (Pemkabpacitan)

WhatsApp chat