Suara Sutardi menggelegar di antara iringan gamelan. Sesekali terdengar nada melengking kala suluk mengawali sebuah adegan. Bagian itu disusul dialog antarkarakter pewayangan dengan Bahasa Jawa.

“Wargo kabeh kudu jogo jinogo ing bab katentremaning padusunan (Semua warga harus saling menjaga ketenteraman wilayah),” ucap nya sembari memainkan tokoh Semar di segmen Goro-goro.

Dialog di jagat pakeliran itu berlanjut. Bagong, yang tak lain putra Semar menanyakan contoh nyata kepedulian masyarakat terhadap keamanan lingkungan.

Sebab, menurut anggota punakawan yang dikenal jenaka ini, zaman sekarang interaksi sosial tak sekuat dulu lagi. Di sisi lain kerap terjadi bias informasi yang berpotensi memicu kesalahpahaman.

“Pangupoyo menopo ingkang saget kito tindakaken kangge nyengkuyung, Romo (Upaya apa yang bisa kita lakukan untuk mendukungnya, Romo)?” tanya Bagong.

Ki Semar yang konon merupakan jelmaan seorang dewa menjawab pertanyaan putranya dengan bijak. Ki Noyontoko, sapaan lain Semar pun membeberkan budaya Siskamling. Itu penting dibudayakan agar keamaan lingkungan terjaga.

“Kejobo kuwi ugo kanggo ngraketake paseduluran ing nataraning wargo (Selain itu juga untuk mempererat persaudaraan di antara warga),” ucap Semar seperti diperagakan Sutardi di tribun Alun-alun Pacitan beberapa waktu lalu.

Begitulah suasana saat Sutardi tampil menjadi dalang Wayang Kulit. Uniknya, dia bukanlah dalang biasa, melainkan seorang tentara. Anggota TNI berpangkat Letnan Satu (Lettu) tersebut saat ini menjabat Danramil Donorojo.

Mengenal wayang sejak anak-anak, membuat Sutardi kecil akrab dengan budaya Jawa tersebut. Terlebih mulai paman hingga kakekknya juga berprofesi dalang. Mendalang pun akhirnya menjadi tradisi. Sembari mencari rumput untuk pakan ternak, lisannya tak henti menirukan adegan wayang.

“Kalau ditanya belajar (pedalangan) dari mana, boleh jadi ya otodidak,” tuturnya di Makodim 0801, Jl Letjen Suprapto, Rabu (5/10/2022).

Mulai berdinas di jajaran TNI tahun 1989 membuatnya harus menanggalkan sementara hobi mendalang. Padatnya tugas dan kegiatan menjadi salah satu alasan. Di sisi lain, untuk memainkan wayang diperlukan waktu khusus dengan durasi tidak singkat.

Hobinya tersalurkan saat Sutardi ditugaskan di Cibinong, Jabar. Kala itu dia menempati Barak Remaja. Saat libur dirinya harus menjadi penunggu barak. Sebab anggota lain yang bertempat tinggal di daerah sekitar pulang ke rumah masing-masing.

Tak ingin larut dalam kegalauan, Sutardi mencari kesibukan. Dia pun memberanikan diri datang ke salah satu komplek tentara yang juga menjadi ajang latihan seni budaya. Dari situlah suami dari Ajeng Risnawati berlatih menjadi dalang profesional.

“Jadi di komplek itu ada sarana prasarana lengkap, mulai dari gamelan sampai wayangnya. Juga untuk latihan sendra tari,” kenangnya.

Bapak tiga putra itu mengakui kecintaan terhadap budaya sendiri motivasinya menjadi dalang. Kendati tak lagi rutin memainkan wayang seperti dulu, namun Sutardi tetap merawat hobinya itu.

Di sisi lain pendekatan budaya dirasakan cukup efektif untuk membangun komunikasi dengan masyarakat. Hal itu sangat dia rasakan saat bertugas di wilayah. Pesan-pesan pun lebih mudah dimengerti karena dikemas dengan bahasa tradisional.

“Anehnya dalam beberapa kesempatan warga justru minta dijelaskan arti dari beberapa kosa kata dalam Bahasa Jawa kuno kepada saya,” imbuhnya seraya menceritakan momen tak terlupakan di Kecamatan Tegalombo itu.

Sebagai tentara sekaligus dalang Wayang Kulit, Sutardi mengidolakan sosok Kresna. Menurutnya, tokoh Pandawa bersenjatakan Cakra itu merupakan penggambaran karakter manusia dengan intelijensi tinggi. Sifat itu makin sempurna karena pembawaannya yang bijak.

“Ada istilah ‘Ngerti Sak Durunge Winarah’ itu sebenarnya merupakan kemampuan menganalisa sekaligus memprediski,” pungkasnya mengutip disiplin ilmu intelijen. (pemkab pacitan)

WhatsApp chat